Prinsip Keadilan, Pemerataan, dan Kesinambungan Ekonomi dalam Penataan Agraria di Indonesia

Opini52 Dilihat

Oleh: Dr Zulfikri Toguan SH MH MM

(Dosen Hukum Bisnis, Fakultas Hukum Universitas Islam Riau)

 

MENTERI Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid menyatakan ada tanah di Indonesia saat ini dikuasai 1,8 juta hektare oleh satu keluarga. Hal ini sangat tidak adil dan perlu dilakukan penataan kembali di bidang agraria dengan tiga pilar prinsip; keadilan, pemerataan dan kesinambungan ekonomi (Kompas, 6 Mei 2025).

Penataan agraria merupakan agenda strategis dalam membangun struktur ekonomi dan sosial yang adil dan berkelanjutan. Prinsip utama yang seharusnya menjadi fondasi dalam setiap kebijakan dan implementasi agraria adalah keadilan, pemerataan, dan kesinambungan ekonomi.

Ketiga prinsip ini tidak hanya mencerminkan semangat reformasi agraria, tetapi juga menjadi pijakan konstitusional dalam pengelolaan sumber daya alam.

Di tengah arus liberalisasi tanah dan dominasi korporasi atas lahan, negara dihadapkan pada tantangan untuk menata ulang kebijakan agraria secara adil dan berorientasi jangka panjang. Agenda reforma agraria bukan sekadar redistribusi tanah, tetapi harus mencakup transformasi struktural yang menjamin akses masyarakat terhadap sumber daya agraria secara merata dan berkelanjutan.

 

1. Prinsip Keadilan: Asas Fundamental Penguasaan Tanah

Prinsip keadilan tercermin dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dalam kerangka hukum positif, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) secara eksplisit menegaskan bahwa hak menguasai dari negara dipergunakan untuk mencapai keadilan sosial.

Namun dalam praktik, ketimpangan penguasaan lahan masih menjadi persoalan akut. Sebagian besar tanah produktif masih terkonsentrasi pada segelintir elite ekonomi.

Berdasarkan kajian yang saya tuangkan dalam Hukum Agraria dan Ekonomi Pancasila (UIR Press, 2022), keadilan dalam konteks agraria bukan sekadar norma hukum, tetapi merupakan keharusan etik dan moral untuk memastikan hak atas tanah dapat dinikmati oleh seluruh rakyat, khususnya petani kecil dan masyarakat adat.

 

2. Pemerataan: Koreksi terhadap Ketimpangan Struktural

Pemerataan dalam konteks agraria bermakna mendistribusikan kepemilikan dan penguasaan tanah secara lebih adil di antara seluruh lapisan masyarakat. Hal ini menjadi dasar dari kebijakan Reforma Agraria yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria.

Dalam kebijakan ini, negara didorong untuk melakukan penataan aset berupa redistribusi tanah dan legalisasi aset, serta penataan akses seperti pemberdayaan ekonomi masyarakat penerima tanah. Dalam artikel saya “Reformasi Agraria dalam Perspektif Hukum Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan” (2023), saya menekankan bahwa keberhasilan reforma agraria tidak hanya diukur dari jumlah sertifikat yang dibagikan, tetapi dari sejauh mana tanah tersebut mengubah struktur sosial-ekonomi masyarakat ke arah yang lebih adil.

Pemerataan agraria juga membutuhkan sinergi dengan kebijakan sektor lain, termasuk perbankan, pemasaran hasil tani, dan akses terhadap teknologi. Jika hal ini tidak terpenuhi, maka redistribusi tanah hanya akan menjadi simbol, bukan solusi.

 

3. Kesinambungan Ekonomi: Agraria dalam Perspektif Pembangunan Berkelanjutan

Kesinambungan ekonomi dalam penataan agraria berarti pengelolaan tanah yang tidak hanya berorientasi pada keuntungan jangka pendek, melainkan juga memperhatikan daya dukung lingkungan dan keberlanjutan intergenerasional. Hal ini selaras dengan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang mensyaratkan penggunaan sumber daya alam secara berwawasan lingkungan.

Pendekatan keberlanjutan juga sejalan dengan prinsip Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), terutama pada tujuan ke-2 (tanpa kelaparan), ke-13 (tindakan terhadap perubahan iklim), dan ke-15 (menjaga ekosistem daratan). Dalam artikel ilmiah saya “Keadilan Agraria dalam Sistem Ekonomi Hijau” (Jurnal Hukum dan Pembangunan UIR, Vol. 11, No. 2, 2023), saya menguraikan bahwa keberlanjutan agraria hanya dapat dicapai jika ada integrasi antara hukum agraria, kebijakan tata ruang, dan penguatan kelembagaan lokal.

Tanah harus dilihat sebagai sistem ekologi, bukan hanya aset ekonomi. Oleh karena itu, pengelolaannya harus mencerminkan prinsip kehati-hatian, keberlanjutan, dan keberpihakan pada generasi mendatang.

 

Penutup

Penataan agraria yang berbasis pada prinsip keadilan, pemerataan, dan kesinambungan ekonomi bukan hanya tuntutan hukum, tetapi juga kebutuhan strategis dalam membangun bangsa yang mandiri dan berkeadilan sosial. Hukum agraria di Indonesia harus kembali pada semangat aslinya: mewujudkan kemakmuran rakyat, bukan memfasilitasi monopoli lahan oleh korporasi besar.

Negara memiliki tanggung jawab konstitusional dan moral untuk memastikan bahwa setiap kebijakan dan implementasi agraria mencerminkan prinsip-prinsip tersebut secara konsisten. Sudah saatnya kita melangkah dari retorika ke praktik nyata dalam menata tanah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. (*)