Oleh: Dr Zulfikri Toguan SH MH MM
(Advokat)
PENDAHULUAN
ADA kekhawatiran masyarakat yang memiliki tanah tetapi belum bersertifikat, dengan adanya pemberitaan dari pemerintah bahwa skgr, patok D, girik bukan bukti kepemilikan atas tanah, bukti kepemilikan atas tanah yang diakui pemeribtah adalah sertifikat.
Bagaimana sebenarnya aturan hukum yang memberikan kepastian hukum bagi masyarakat yang sebagian besar belum mengurus sertifikat atas tanahnya. Hal ini perlu diberikan kajian hukum agar tidak membuat keraguan masyarakat atas tanah yang selama ini dikuasainya.
Dalam praktik pertanahan di Indonesia, sering kali timbul persoalan mengenai keabsahan pemberian hak atas tanah kepada pihak lain oleh negara, padahal di atas bidang tanah tersebut telah terdapat bukti penguasaan fisik sebelumnya, seperti SKGR, girik, atau petok D.
Selain itu, tidak sedikit masyarakat yang masih memegang dokumen penguasaan tanah non-sertifikat dan belum memiliki kepastian hukum atas tanah tersebut.
Opini hukum ini disusun untuk memberikan pandangan yuridis terhadap kebolehan tindakan tersebut dan menyarankan langkah-langkah hukum yang dapat dilakukan untuk memperoleh kepastian hukum atas tanah tersebut.
PERMASALAHAN
1. Apakah diperbolehkan secara hukum memberikan hak atas tanah kepada orang lain atau badan hukum apabila di atas tanah tersebut telah ada bukti penguasaan fisik berupa SKGR, girik, atau petok D?
2. Apa saja upaya hukum yang dapat ditempuh untuk memperoleh kepastian hukum atas tanah yang masih didasarkan pada SKGR, girik, atau petok D?
Dasar Hukum
1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA)
2. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
3. Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan
4. Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 1981
5. Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia
Analisis Yuridis
A. Ketentuan Pemberian Hak atas Tanah
Pasal 24 PP No. 24 Tahun 1997 menyatakan bahwa bukti penguasaan fisik berupa SKGR, girik, atau petok D bukan merupakan bukti hak, melainkan hanya bukti awal yang dapat digunakan dalam permohonan hak.
Dalam hal tanah tersebut telah dikuasai secara fisik oleh seseorang berdasarkan dokumen penguasaan tersebut, maka negara tidak dapat serta-merta memberikan hak atas tanah kepada pihak lain tanpa terlebih dahulu memastikan status penguasaan tersebut.
Permen Agraria No. 9 Tahun 1999 Pasal 3 ayat (2) menyatakan bahwa permohonan hak atas tanah yang sudah dikuasai hanya dapat diproses jika ada persetujuan tertulis atau pelepasan hak dari pihak yang menguasai tanah.
Pemberian hak kepada pihak lain tanpa adanya persetujuan tersebut berpotensi menimbulkan sengketa dan dianggap sebagai tindakan administrasi yang cacat hukum.
Mahkamah Agung Republik Indonesia, dalam beberapa yurisprudensinya (antara lain Putusan No. 2499 K/Pdt/2010 dan Putusan No. 3319 K/Pdt/2000), menegaskan bahwa tindakan pemberian hak atas tanah kepada pihak lain tanpa memperhatikan bukti penguasaan yang sah sebelumnya adalah suatu perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad).
Pengertian dan Akibat Hukum dari Perbuatan Melawan Hukum
Menurut Pasal 1365 KUHPerdata, perbuatan melawan hukum adalah:
"Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut."
Unsur-unsur perbuatan melawan hukum meliputi:
1. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku,
2. Melanggar hak subjektif orang lain,
3. Bertentangan dengan kesusilaan, dan/atau
4. Bertentangan dengan kepatutan, ketelitian, dan kehati-hatian dalam masyarakat.
Akibat hukum dari perbuatan melawan hukum dalam konteks pertanahan antara lain:
Sertifikat yang terbit dapat dibatalkan melalui proses administratif atau gugatan ke pengadilan.
Pihak yang dirugikan berhak atas ganti rugi, baik secara materiil maupun immateriil.
Instansi yang menerbitkan hak secara melawan hukum dapat dikenakan tanggung jawab administrasi dan perdata.
B. Upaya Hukum untuk Mendapatkan Kepastian Hukum atas Tanah Berbasis SKGR, Girik, Petok D.
Untuk memperoleh kepastian hukum, langkah-langkah yang dapat dilakukan antara lain:
1. Permohonan Sertifikasi ke BPN
Mengajukan pengakuan hak (misalnya hak milik atau HGB) melalui proses pendaftaran tanah pertama kali dengan melampirkan bukti penguasaan, surat riwayat tanah, pernyataan tidak sengketa, dan dokumen pendukung lainnya.
2. Melalui Program PTSL (Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap)
Mengikuti program sertifikasi masal yang diadakan oleh pemerintah. Program ini membuka peluang besar untuk masyarakat memperoleh sertifikat secara gratis atau dengan biaya ringan.
3. Menyelesaikan Sengketa secara Hukum
Bila ada klaim ganda atau sengketa, dapat ditempuh jalur mediasi, keberatan administratif ke BPN, atau gugatan perdata di pengadilan.
4. Penyusunan Surat Keterangan Waris (jika relevan)
Jika tanah merupakan warisan, harus dibuktikan melalui surat keterangan waris yang sah agar hak dapat dialihkan dan didaftarkan.
Kesimpulan dan Pendapat Hukum
Pertama, tidak dibenarkan secara hukum pemberian hak atas tanah kepada pihak lain apabila di atas tanah tersebut telah terdapat penguasaan berdasarkan SKGR, girik, atau petok D, tanpa adanya pelepasan hak atau persetujuan dari pihak penguasa tanah.
Tindakan tersebut dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan melawan hukum.
Kedua, untuk memperoleh kepastian hukum, pemilik atau penguasa tanah berdasarkan dokumen non-sertifikat wajib menempuh jalur administratif berupa permohonan hak ke BPN atau mengikuti program PTSL.
Hal ini penting untuk memberikan perlindungan hukum yang penuh terhadap hak atas tanah dan menghindari potensi konflik pertanahan di masa depan.
Dibuat di Pekanbaru, 8 Mei 2025. (*)