Koperasi Merah Putih: Jalan Baru Menuju Kesejahteraan Rakyat

Opini45 Dilihat

Oleh: Dr Zulfikri Toguan SH MH MM
Dosen Hukum Bisnis Universitas Islam Riau (UIR)

 

SELAMA ini, keuntungan besar dari konsumsi rakyat desa dan kota lebih banyak dinikmati oleh perusahaan-perusahaan swasta berskala Nasional seperti Indomart, Alfamart, dan jaringan ritel modern lainnya.

Mereka masuk ke desa-desa, membuka cabang, menguasai pasar kebutuhan pokok, namun hasil akhirnya tidak kembali ke rakyat, melainkan ke korporasi dan para pemegang saham.

Model ekonomi seperti ini meminggirkan peran rakyat sebagai pemilik ekonomi lokal, dan memperbesar kesenjangan sosial.

Kini, pemerintah mewacanakan pembentukan Koperasi Merah Putih, koperasi rakyat yang akan didukung penuh oleh negara dengan suntikan modal hingga Rp 5 miliar per unit koperasi.

Gagasannya sangat mulia: koperasi ini akan menjadi pusat distribusi kebutuhan pokok rakyat yang terjangkau, sekaligus sebagai alat untuk menciptakan keuntungan kolektif yang kembali ke masyarakat.

Namun pertanyaan besarnya adalah: siapa yang akan mengelola koperasi ini?

Pengalaman masa lalu mengajarkan bahwa bukan modal yang paling sulit, melainkan menemukan pengelola yang jujur, kompeten, dan bebas dari intervensi kekuasaan lokal.

Khususnya dari aparat desa atau kepala daerah yang seringkali memasukkan keluarga atau kroni ke dalam struktur koperasi.

Bila ini terjadi, koperasi Merah Putih hanya akan menjadi nama tanpa isi dan berujung bangkrut seperti banyak koperasi lain sebelumnya.

Belajar dari Kegagalan

Ada banyak contoh koperasi yang gagal karena salah urus. Satu di antaranya Koperasi Pandawa Mandiri Group di Depok yang menipu ribuan orang dengan skema ponzi dan merugikan masyarakat hingga Rp3,8 triliun.

Begitu pula Koperasi Sejahtera Bersama di Bogor yang gagal bayar dengan kerugian mencapai lebih dari Rp 10 triliun. Keduanya gagal karena lemah pengawasan, manajemen yang tidak profesional, dan minim transparansi.

Koperasi gagal bukan karena konsepnya salah, melainkan karena tata kelola yang buruk.

Meniru yang Sukses

Di sisi lain, ada juga koperasi yang membuktikan diri mampu menjadi tulang punggung ekonomi rakyat.

Koperasi Setia Kawan di Jawa Timur, misalnya, sukses mengekspor beras organik dan meningkatkan kesejahteraan petani.

Koperasi Kredit CU Lantang Tipo di Kalimantan Barat memiliki aset lebih dari Rp 2 triliun dan melayani ratusan ribu anggota dengan sistem keuangan yang modern.

Koperasi Pondok Pesantren Sidogiri di Pasuruan bahkan mandiri sepenuhnya tanpa bergantung pada dana pemerintah, dan menjadi kekuatan ekonomi berbasis komunitas.

Semua koperasi yang sukses memiliki satu kesamaan: dikelola secara profesional, transparan, dan berbasis nilai gotong royong sejati, bukan nepotisme.

Perlu Regulasi Khusus

Untuk itu, agar Koperasi Merah Putih tidak mengalami nasib tragis, regulasi ketat harus disusun sejak awal, dengan poin-poin berikut:

1. Rekrutmen terbuka dan kompetitif untuk memilih pengelola koperasi yang kredibel.

2. Larangan nepotisme dan intervensi kepala desa, dengan sanksi administratif dan pidana.

3. Audit keuangan berkala oleh lembaga independen, serta pelaporan publik.

4. Pelatihan dan pendidikan berkala bagi pengurus dan anggota koperasi.

5. Pembentukan dewan pengawas independen yang tidak berasal dari unsur pemerintahan desa.

Kesimpulannya adalah; Koperasi Merah Putih harus menjadi simbol kedaulatan ekonomi rakyat, bukan alat bagi kepentingan politik lokal.

Negara sudah menggelontorkan dana; sekarang waktunya rakyat memiliki sistem untuk menjaganya. Bila dikelola dengan baik, koperasi ini akan menjadi tiang penyangga kesejahteraan nasional yang sejati. (*)

Pekanbaru, 9 Mei 2025

News Feed