Menjaga Marwah Profesi Insinyur: STRI Adalah Keniscayaan, Bukan Pilihan

Opini71 Dilihat

Oleh: Ir Ulul Azmi ST CST IPM ASEAN Eng

(Ketua Persatuan Insinyur Indonesia Wilayah Provinsi Riau)

 

DI tengah pembangunan Nasional yang semakin massif dan kompleks, penguatan peran profesi keinsinyuran adalah sat keniscayaan, bukan sekadar formalitas. Namun belakangan ini, muncul narasi yang menggiring opini seolah-olah kewajiban memiliki Surat Tanda Registrasi Insinyur (STRI) tidak lagi relevan, khususnya dalam sektor jasa konstruksi.

Opini seperti ini tidak hanya menyesatkan, tetapi juga berpotensi merusak fondasi tata kelola keinsinyuran yang telah dibangun berdasarkan hukum.

STRI merupakan amanat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2014 tentang Keinsinyuran. Dalam Pasal 1 ayat (1), disebutkan bahwa keinsinyuran adalah “kegiatan teknik dengan menggunakan kepakaran dan keahlian berdasarkan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk meningkatkan nilai tambah dan daya guna secara berkelanjutan dengan memperhatikan keselamatan, kesehatan, kemaslahatan, serta kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan.”

Sementara itu, Pasal 5 menegaskan bahwa kegiatan keinsinyuran mencakup disiplin dan bidang seperti rekayasa sipil, lingkungan terbangun, konstruksi, rancang bangun, serta pengoperasian aset—yang secara nyata merupakan bagian dari sektor jasa konstruksi.

Apakah jasa konstruksi termasuk praktik keinsinyuran?

Jawabannya: iya, secara jelas dan tegas. Oleh karena itu, setiap tenaga profesional yang melakukan praktik keinsinyuran di sektor tersebut wajib memiliki STRI.

Ketentuan ini kembali ditegaskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 11 Tahun 2014, khususnya pada Pasal 17, yang menyatakan:

(1) Setiap insinyur yang akan melakukan praktik keinsinyuran di Indonesia harus memiliki Surat Tanda Registrasi Insinyur.

(2) Registrasi Insinyur dilakukan oleh PII.

(3) Surat Tanda Registrasi Insinyur dikeluarkan oleh PII.

STRI tidak boleh diposisikan sebagai tandingan terhadap SKK (Sertifikat Kompetensi Kerja) yang diperoleh melalui LSP sektor konstruksi. Keduanya berjalan secara paralel dan saling melengkapi. SKK adalah pengakuan atas kompetensi teknis jabatan kerja, sementara STRI adalah legalitas hukum atas profesi insinyur secara menyeluruh, termasuk etika, tanggung jawab sosial, dan keberlangsungan kompetensi.

Menyederhanakan urusan profesi keinsinyuran hanya pada kompetensi kerja, tanpa memperhatikan dimensi etik dan keprofesian, merupakan kemunduran dalam standar peradaban teknik itu sendiri.

Ketika seseorang mengaku sebagai dokter, ia wajib memiliki STR dan izin praktik. Ketika seseorang mengaku sebagai advokat, ia wajib memiliki kartu advokat dan izin sidang. Maka ketika seseorang mengaku sebagai insinyur, ia pun harus tunduk pada sistem profesi yang sah, yaitu STRI.

Upaya PII Provinsi Aceh dalam menegakkan ketentuan ini bukanlah bentuk arogansi kelembagaan, melainkan wujud keberanian dalam menegakkan hukum.

Apa yang dilakukan oleh PII Aceh adalah contoh nyata sikap profesional yang patut diteladani oleh seluruh wilayah di Indonesia. Ketegasan terhadap STRI bukan tentang memperumit birokrasi, tetapi tentang menjaga integritas, keselamatan publik, dan martabat profesi insinyur di tengah tantangan global.

Sebagai Ketua PII Wilayah Riau, saya menyatakan dukungan penuh terhadap langkah yang diambil oleh Universitas Syiah Kuala dan PII Aceh.

Saya juga mengajak seluruh pemangku kepentingan—baik dari pemerintah pusat, kementerian teknis, asosiasi konstruksi, perguruan tinggi, hingga pelaku industri—untuk duduk bersama, menyatukan pemahaman, dan mengedepankan semangat kolaborasi. Bukan saling melemahkan, melainkan membangun Indonesia yang maju dengan insinyur-insinyur yang kompeten, etis, dan bertanggung jawab secara hukum.

Sudah saatnya profesi insinyur ditempatkan sejajar dengan profesi strategis lainnya: dihormati karena integritas, diakui karena kompetensi, dan dilindungi karena dasar hukum. (*)