Royalti Lagu di Kafe Boleh Dibebankan ke Konsumen?

Opini312 Dilihat

Oleh: Dr Zulfikri Toguan SH MH MM
Ketua Sentra HKI UIR

 

FENOMENA baru mulai muncul di sejumlah kafe: adanya “music fee” atau biaya royalti lagu yang dimasukkan ke dalam tagihan pelanggan.

Nominalnya memang kecil, hanya seribu atau dua ribu rupiah, tapi secara hukum apakah ini boleh? Dan apakah langkah tersebut sesuai dengan prinsip perlindungan konsumen?

Musik di kafe bukan hanya latar suara; ia menciptakan atmosfer yang membuat pengunjung betah.

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, khususnya Pasal 87, menegaskan bahwa setiap pihak yang menggunakan ciptaan untuk kepentingan komersial di tempat umum wajib membayar royalti kepada pencipta atau pemegang hak.

Dengan demikian, pihak yang memiliki kewajiban hukum membayar royalti adalah pemilik atau pengelola kafe, bukan pelanggan.

Biasanya, kewajiban ini dilaksanakan dengan membayar kepada Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) seperti WAMI, KCI, atau RAI.

Sebagian kafe berargumen bahwa royalti adalah bagian dari biaya operasional, sama seperti listrik atau sewa, sehingga sah saja dialihkan ke pelanggan.

Secara hukum, memang tidak ada larangan eksplisit dalam UU Hak Cipta untuk mengalihkan beban ini. Namun, ketika menyentuh ranah transaksi dengan konsumen, berlaku UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK).

Pasal 4 huruf c UUPK: Konsumen berhak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang/jasa.

Pasal 7 huruf b UUPK: Pelaku usaha wajib memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai barang/jasa.

Pasal 8 ayat (1) huruf f UUPK: Dilarang menawarkan atau memberikan barang/jasa dengan cara yang menyesatkan.

Pasal 10 huruf a UUPK: Dilarang menawarkan barang/jasa yang mengandung informasi tidak benar atau menyesatkan.

Artinya, music fee hanya sah dibebankan ke pelanggan jika diinformasikan secara transparan sebelum transaksi. Jika tidak, kafe bisa dianggap melanggar hak konsumen.

Berdasarkan data pengaduan ke Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), terdapat keluhan dari pelanggan sebuah kafe di Jakarta yang mendapati adanya tambahan biaya Rp2.000 di struk pembayaran dengan keterangan “Music Royalty”.

Konsumen mengaku tidak pernah diberi tahu sebelumnya mengenai biaya tersebut, baik di menu maupun oleh pelayan.

YLKI menilai tindakan ini berpotensi melanggar Pasal 4 dan Pasal 8 UUPK, karena informasi yang diberikan kepada konsumen tidak transparan.

Kasus ini menjadi sorotan di media sosial, memicu kritik publik terhadap praktik diam-diam membebankan royalti ke pelanggan.

Sanksi Hukum Pelaku Usaha

Jika pelaku usaha membebankan music fee tanpa transparansi dan dinilai melanggar UUPK, maka ancaman sanksi yang dapat dikenakan antara lain:

1. Sanksi Administratif (Pasal 60 UUPK):

Penarikan barang/jasa dari peredaran.

Penghentian kegiatan usaha sementara.

Kewajiban membayar ganti rugi kepada konsumen.

2. Sanksi Pidana (Pasal 62 ayat (1) UUPK):

Penjara paling lama 5 (lima) tahun atau

Denda paling banyak Rp2.000.000.000 (dua miliar rupiah).

3. Sanksi Perdata:

Konsumen dapat mengajukan gugatan ganti rugi melalui pengadilan atau melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).

Secara etis, pembebanan langsung royalti ke pelanggan berpotensi menimbulkan kesan bahwa pelaku usaha mengalihkan kewajiban hukum mereka.

Dalam perspektif hukum perjanjian, transaksi antara kafe dan konsumen adalah jual beli makanan/minuman, dan penambahan biaya di luar yang disepakati awal bisa masuk kategori klausul baku yang merugikan konsumen (Pasal 18 UUPK).

Jika kafe ingin melibatkan pelanggan dalam membayar royalti, caranya harus elegan. Cantumkan keterangan di menu atau di meja:
“Music fee sebesar Rp1.000 digunakan untuk pembayaran royalti lagu kepada musisi melalui LMK”.

Jadikan bagian dari branding: “Dengan setiap kunjungan, Anda ikut mendukung musisi Indonesia”.

Dengan cara ini, kewajiban hukum tetap dijalankan, konsumen paham, dan musisi tetap mendapatkan haknya. Royalti adalah hak yang dijamin Undang-Undang Hak Cipta, dan pembayarannya adalah kewajiban pelaku usaha.

Mengalihkan beban tersebut ke konsumen melalui tagihan boleh saja, selama mematuhi prinsip keterbukaan yang diatur UUPK.

Tanpa keterbukaan, langkah ini bukan hanya berpotensi melanggar hukum perlindungan konsumen, tetapi juga bisa merusak kepercayaan publik terhadap usaha itu sendiri. (*)